"The only way to get rid of a temptation is to yield to it."
Oscar Wilde
Welcome to Imagination Temptation, a place where rants of a girl and the overwhelming feelings of her lays here.
All of the words implied here are genuinely from inside her mind or heart, though there are no guarantee that everything in here were just her imagination or fantasy.
Shall you see further inside this place, just click the girls on the left.
Profile
Who am I?
Certainly no one.
Well, I am just a being who likes to imagine a lot. It even tempts me.
An author of its life. A human who likes to and being loved.
Who doesn't, after all? Blasphemy, I say, if you don't need to be love and loved.
I like simplicity yet complexity. I like modest things yet also I like challenges.
I hate apathetic people. I hate selfish people. I hate ignorant people.
I love stories from the girl in the attic. I love songs that sings out feelings.
I don't like cliche love songs. Suffice to say, I don't like most of the songs in the world?
Hey, do you want to know more? Are you listening to me?
28 April 2009, 20.40 Belakangan ini aku suka mimpi aneh, kau tahu? Menjelang dan selama ujian nasional, mimpi-mimpi yang aneh dan jelas sering bermain di alam bawah sadarku selama mataku terpejam. Sungguh, aneh, dan semuanya itu jelas, seolah nyata. Aku tercekam berkali-kali dan nafasku memburu tidak jelas ketika mataku terbuka lagi.
Aku penasaran, dan sungguh ingin tahu, ingin membagikan mimpi-mimpi aneh ini, tetapi ujung-ujungnya aku selalu lupa. Angin ketegangan ujian nasional kerap kali membawa rasa takut dan khawatir tersendiri di pagi hari aku bercengkrama dengan sobat-sobatku, sehingga aku melupakannya, tetapi, bila malam datang dan aku terdiam sendiri di kamarku, pikiran itu datang lagi, menimbulkan rasa bersalah pada diriku yang dengan begitu cerobohnya melupakan tekadku untuk berkisah tentang hal-hal itu pagi ini.
Windows Media Player-ku menyala, melantunkan lagu I Do-nya Illaria Graziano dan Yoko Kanno, OST dari Ghost In The Shell, salah satu anime paling keren yang pernah kutonton. Pada saat yang bersamaan, jariku menari-nari di atas keyboard hitam ‘kidal’-ku ini, menuliskan kisah-kisah yang mungkin tidak 100% akurat benar oleh memori alam nyataku ini, mimpi-mimpiku.
Sembari mengetik, aku berusaha dengan jelas mengingat mimpi-mimpi yang telah datang sejak seminggu yang lalu itu. Mimpi-mimpi itu menyenangkan, seru, dan di saat yang bersamaan, mencekam, dan membuatku berpikir, mengapa ini terjadi, dan apakah artinya? Apa maksudnya?
Aku tidak ingat banyak, yang kuingat hanyalah, apa yang ada di mimpiku, dan apa yang kulakukan dan kualami. Semuanya jelas kualami, tetapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas...
26 April 2009, 13.53 Pulang dari gereja dan makan siang di restoran chinese Golden Jade, aku langsung menghujam tempat tidur bawah yang ada di kamarku, bekas kakak perempuanku. Tanpa bantal karena aku malas meraihnya dari tempat tidurku yang di atas. Jauh, dan aku telah mengantuk.
Biasanya jam-jam begini aku akan langsung online untuk mengamati pertandingan Quidditch maya di mIRC, dan memang seharusnya aku terdiam mengamati pertandingan itu dengan posisi cadangan sembari chatting di conference atau di jendela para musang di mIRC, dan syukur-syukur aku bisa bermain, meski hanya dengan nama orang saja—tetapi saat itu internet di kamarku telah diputus kakakku sejak seminggu yang lalu dengan dalih mau ujian nasional, sehingga menyalakan komputer pun rasanya sia-sia karena tujuan utamaku kalau menyalakan komputer adalah bermain internet.
Tanpa alas kepala dan tanpa berganti pakaian, aku merebahkan diriku di bawah kipas angin gantung yang berputar menarik udara di sekitarnya untuk meniup tubuhku yang berada di bawahnya. Aku menutup mataku untuk tidur, sesuatu yang kurang kulakukan tadi malam.
Aku di alam bawah sadarku pun membuka mataku. Aku ingat berada di sebuah tempat yang asing, tetapi aku tahu, bahwa tempat itu adalah sekolahku. Sekolah, hanya itulah kata yang terekam di pikiranku. Jauh berbeda dengan sekolahku pada kenyataannya. Sekolah ini bernuansa sangat gelap. Bangunan ini berbentuk seperti huruf U yang kaku dan tinggi dengan tatanan warna cokelat dan kelabu dari tembok yang tidak di cat.
Aku ingat, tangga-tangga batu yang kokoh, menyambungkan tanah gelap lapangan di tengah gedung dengan lantai dua gedung itu sementara lantai satunya berada di bawah tangga itu, dan aku terduduk di sana untuk pertama kalinya, memandang ke tengah-tengah lapangan yang berada di tengah sekolahku itu.
Dan ada sebuah pertandingan di sana.
Aku ingat, itulah alasanku berada di sana, menonton sebuah pertandingan olahraga. Aku tidak ingat jelas itu pertandingan apa, seingatku baseball, tetapi aku masih tidak yakin. Lagipula, aku hanyalah seorang penonton, dan berada di gedung itu sangatlah asing bagiku, karena aku tidak ingat ada seorang pun dari teman-temanku yang berada di sana. Sama sekali asing.
Aku lalu ingat melihat ke atas, di mana langit biru yang cerah berawan meluas. Aku ingat siang itu tidak panas karena di daerah tempatku berada itu gelap, pertanda bahwa matahari saat itu memang sedang dihalau awan.
Dan aku kemudian melihat ke sebelah kiriku, di mana pilar-pilar yang berjejer panjang dan tinggi menjadi salah satu alasan mengapa daerah sekolahku kerap kali gelap. Pilar-pilar itu yang menghalangi cahaya matahari menyinari sekolahku, tetapi entah mengapa aku senang, karena meski tanpa adanya cahaya matahari, angin bertiup sejuk.
Lalu kemudian aku meninggalkan sekolahku, semua berlalu begitu cepat sehingga tidak semua yang kulakukan tertangkap dengan jelas oleh pikiranku, tetapi satu yang kuingat, yaitu keberadaan seorang raja yang tidak memilikki pelindung. Beberapa hari sebelumnya, aku pernah bermimpi tentang raja ini, dan aku ingat alasan mengapa meski raja itu tidak memilikki pelindung, tetapi ia begitu ditakuti...
Ya, raja itu memang ada, tetapi aku tidak akan menceritakannya sekarang, aku hanya teringat bahwa aku, dan seorang anak perempuan yang tak kukenal, sedang berjalan bersama, melewati jalan raya yang menuju ke rumahku di dunia nyata. Aku ingat melewati Puskesmas di dekat rumahku dengan dindingnya yang berwarna hijau pupus dengan pilarnya yang putih. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa dari tempat yang begitu asing bagiku, tiba-tiba di sini.
Anak perempuan itu juga, tidak kukenal secara nyata, tetapi di sini, aku seperti telah mengenalnya seumur hidupku, kami begitu dekat, dan itulah sebabnya kami berjalan bersama.
Saat itu langit mendung dan kami berjalan bersama, melewati Puskesmas itu dan tiba di depan sebuah sebuah jalan kecil di sebelah kiri. Jalan Kunci namanya bila kau melihat papannya di dekat rumahku. Biasanya aku melewati jalan itu bila ingin mengambil jalan pintas ke sebuah pasar tradisional dekat rumahku, tetapi yang membuatku terheran-heran, adalah apa yang kukatakan padanya.
”Kalau kita lewat jalan ini... Apakah kita bisa lebih cepat sampai di rumah?”
Aku ingat dengan jelas bahwa rumah yang kumaksud adalah rumahku di alam nyata. Berjalan tidak sampai 100 meter lagi dan rumah itu sudah terlihat sebenarnya. Sampai di detik aku menulis ini pun, aku masih heran kenapa aku mengatakan itu.
Anak perempuan itu nampak berpikir sesaat, tetapi ia lalu mengangguk dan tersenyum. ”Mengapa kita tidak coba lewat sini saja?” katanya sambil kemudian berbelok masuk jalan itu dan berlari meninggalkanku. Aku terdiam, tetapi lalu ikut berlari di sebelah kirinya menyusuri jalan itu, berbelok ke arah sebelah kiri yang menuju rumahku.
Kami terus berlari di jalan itu hingga tak terasa, jalanan aspal itu berubah menjadi hamparan rumput-rumput yang lembut. Rumah-rumah kecil di sebelah kananku berubah menjadi pohon-pohon dengan daun hijau muda segar sementara sebelah kiriku berubah menjadi pagar besi berbentuk seperti jaring dengan gedung besar ala kampus di dalam pagarnya, tetapi pikiranku berkata bahwa gedung itu adalah sebuah sekolah internasional.
Dan, ya, kami terus berlari di bawah langit biru yang cerah, menggantikan langit mendung yang tadi berada di atas kami.
Kami berhenti ketika rimbunan pohon di sebelah kananku tidak lagi menjadi pagar jalan, sebuah tempat yang mirip taman, dengan tangga batu yang menjorok ke bawah, di mana ada anak-anak yang berbaris rapi, nampak seperti anggota pramuka, mendengar sebuah ceramah atau entah instruksi yang diberikan oleh pemimpin mereka.
Tak jauh di sebelah kanan taman itu, di batasi dengan tembok rendah dengan bunga di tengahnya, terdapat sebuah gedung sekolah warna-warni yang mirip sekolah taman kanak-kanak Montessori yang ada di belakang Erha Clinic di daerah Kelapa Gading itu. Entah mengapa di sana aku berpisah dengan anak perempuan itu karena ia berkata tiba-tiba bahwa ia harus kembali ke sekolahnya, yang adalah gedung sekolah warna-warni itu.
Aku hanya mengiyakan sambil terus berlari melintasi taman lapangan itu, berlari ke arah pilar-pilar putih yang tadi membatasi sekolahku itu. Menapak lantai marmer putih yang diapit pilar-pilar itu dan sampai di dekat tangga di mana aku duduk tadi. Sekarang yang ada di sana hanyalah orang-orang yang tidak kukenal juga, tetapi aku mengetahui mereka sebagai guru olahraga dan anak-anak yang bermain olah raga tadi. Mereka lalu bilang padaku, bahwa pertandingannya sudah selesai. Aku yang heran dan bertanya mengapa, tidak mendapatkan jawabannya, tetapi aku langsung berpindah lokasi dari lapangan sekolahku, menuju tempat lain yang sama asingnya.
Di hadapanku, sang ’raja’ dengan pedangnya yang ditakuti, dan dua orang di sebelahku, dan dua-duanya laki-laki. Mereka terlibat suatu pembicaraan yang aku tidak ingat apa, dan kemudian, raja itu langsung bangkit dan menarik pedangnya seperti waktu itu...
Untuk membunuh kami....
Di mimpiku yang sebelumnya, aku ingat melihat seseorang yang berlari dari sang raja, dan ia lalu dipojokkan oleh sang raja di sebuah pilar putih yang kulalui menuju sekolahku tadi. Aku melihatnya berakhir mengenaskan ketika pedang sang raja menghujam tubuhnya sampai tembus, bahkan menembus pilar itu dengan darahnya yang bercucuran ke mana-mana dan menghujani lantai pualam putih itu, dan aku hanya bisa terhenyak. Itulah alasan mengapa raja yang tidak memilikki pelindung itu begitu ditakuti, dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya atau ciuman pedangnya yang akan kau rasakan.
Kembali padaku, ketika aku melihat raja itu telah mengangkat pedangnya, kami langsung mengambil langkah seribu dari sana. Kami keluar dari ruangan sang raja yang serba putih dan mendapati diri kami berada di jalan panjang yang terbuat dari marmer dan pilar-pilar panjang yang mengelilinginya.
Kami terus berlari sampai kemudian salah seorang dari kami (bukan aku) menabrak salah satu pilar itu, dan nampaknya sang raja telah memojokkannya seperti orang yang kulihat di mimpi sebelumnya. Yang kuheran, ia tidak lari, tetapi ia hanya menatap sang raja dengan tatapan kebencian sebelum aku berbalik melihat ke depanku karena aku tahu, bahwa raja itu akan menusukkan pedangnya menembus tubuh orang itu sebentar lagi.
Pedang-pedang panjang tertancap di pilar-pilar putih yang kulewati. Sangat merepotkanku ketika melewati mereka, karena keberadaan pedang-pedang itu otomatis telah menyempitkan jalan yang kulewati, sehingga memperlambat lariku karena harus berhati-hati. Lelaki kedua yang tadi bersamaku, kini telah berlari jauh sekali di depanku, meninggalkanku.
Lalu tiba-tiba saja, aku mendapatkan firasat bahwa raja itu telah ada dekat di belakangku sementara aku sendiri masih kesulitan berlari di antara pedang-pedang yang menancap di pilar-pilar ini.
Aku melihat ke belakang untuk memastikan keberadaan sang raja di belakangku, tetapi tanpa sadar, tubuhku menabrak sebuah pedang panjang yang tertancap di pilar di dekatku.
Aku terjatuh, dan semuanya menjadi gelap bersamaan dengan terbukanya mataku. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku yang panas. Aku menoleh ke dinding, waktu menunjukkan pukul 15.20.
28 April 2009, 21.48 Aku menatap tulisan di sudut kanan bawah layar monitorku. Di sana tertulis 9:48 PM, menyatakan bahwa telah satu jam aku menulis kisah alam bawah sadar yang terjadi hanya dalam kurun waktu satu jam lebih.
Aku menguap, lagu Coppelia no Hitsugi-nya Ali Project berdentum-dentum dari speaker hitam di sebelah monitor LCD komputerku. Aku tadi memang sempat mengganti playlist laguku, sehingga kini yang ada di daftar Now Playing-nya WMP-ku adalah lagu-lagu band Ali Project saja.
Aku membaca ulang ceritaku di atas, mendapati bahasanya yang kacau dan seolah dibuat-buat. Hatiku berpikir, kalau nantinya cerita ini ku-post di TCH, apakah orang-orang akan menganggap tulisan ini sebagai karangan belaka atau kejadian nyata? Apakah akan ada tanggapan positif dan negatif dari mereka? Atau cerita ini hanya akan berakhir sebatas topic terbengkalai di sana? Semoga saja tidak.
Otakku gatal ingin menuliskan mimpi hari Senin kemarin, tetapi entah mengapa tanganku sangat berat, bahkan untuk menuliskan kalimat ini saja sudah mulai tidak bertenaga. Aku ingat bahwa besok adalah UN Matematika, seharusnya aku belajar dan mengerjakan soal-soal latihan yang belum kukerjakan, bukannya menulis cerita yang seharusnya bisa diceritakan paling lama 5 menit secara lisan ini. Lagipula, jam di sudut kanan bawah layarku itu telah menuliskan angka 10:05 PM, pertanda bahwa malam semakin larut, dan seharusnya aku tidur supaya besok bisa mengerjakan UN dengan baik.
Aku mengangkat tanganku sejenak dari keyboardku yang telah kutempeli stiker warna-warni sebagai pencerah komputer dan kamarku yang kelewat polos ini. Aku berpikir, apakah kalau kutunda cerita ini sampai besok, aku bisa menuliskan cerita ini sejelas aku mengingatnya hari ini? Apakah aku mampu menceritakan bagaimana aku dikejar beruang ngamuk di mimpi kemarin dan aku kehilangan kakiku ketika aku tidur siang ini dengan jelas? Bagaimana kalau seandainya besok aku kehilangan moodku seperti aku kehilangan mood hari ini untuk menulis novelku?
Darling, me wo akete!
Kalimat pertama dari lagu Ankoku Tengoku-nya Ali Project. Sayang, bukalah matamu! Begitulah artinya, kira-kira. Lagu dengan aksen nada game-game Mario Bros jaman 90-an pada intronya itu cukup menjadi penyemangatku kali ini. Jariku masih terasa berat, tetapi otakku berjalan, setiap sel-sel di dalam sana menuntutku untuk terus mengetik, meski sesaat berhenti untuk membuka dan melihat lirik lagu Ankoku Tengoku yang telah kuulang dua kali ini.
Ah, lagu-lagu Ali Project memang inspirasional. Nada-nada dan suasana gothic dari mereka selalu merangsang pikiranku, seperti lagu-lagu Sound Horizon yang menjadi favorit utamaku, lagu-lagu Akiko Shikata dan Yuki Kajiura.
Tunggu, kenapa aku malah meracau tidak jelas? Bukankah tujuan utamaku adalah menceritakan tentang mimpiku? Kenapa aku malah keluar dari topik yang seharusnya? Mari BTT guys, seperti yang diserukan oleh Ndhez dan yang lain-lainnya kalau sedang rapat, tetapi kurasa, hari ini cukup segini dulu racauanku dan kalimat-kalimat uraian mimpiku yang tidak jelas itu. Doakan firasatku benar, bahwa aku akan mendapatkan banyak kritik dari cerita racauanku ini.